Kejanggalan saat Berita Acara Penyidikan

Saya sebagai korban tragedi Monas 1 Juni 2008 merasa terjadi suatu kejanggalan saat melakukan BAP di Polda Metro Jaya. Sebagai korban saya diminta datang sebagai saksi ke Polda untuk ke tiga kalinya. Yang pertama saya lakukan pada hari yang sama dengan tragedi yakni 1 Juni 2008 jam 11.00, hingga selesai 2 Juni jam 02.30 pagi. Pemanggilan kedua saya lakukan pada sekitar seminggu berikutnya dan pemanggilan ke tiga tanggal 1 July 2008 jam 12.00 ( pemanggilan ketiga untuk mengenali dari 7 wajah tersangka pelaku tindakan kekerasan, yang pada saat kejadian dapat berjumlah ratusan orang). Hingga pemanggilan ketiga ini saya, belum pernah melihat 58 pelaku yang ditangkap oleh pihak kepolisian tanggal 3 Juli.

Saat saya bertanya untuk melihat photo wajah ke 58 orang yang pernah ditangkap, pihak kepolisian menjawab tidak bisa karena photo sudah tidak ada dibagian mereka. Kemudian saya tanyakan lagi dapatkah dibantu untuk diminta kebagian yang menyimpannya. Jawaban yang sama terucap, bahwa tidak bisa. Saya menegaskan kepada penyidik, bahwa saya adalah korban, yang mungkin dapat mengenali orang-orang yang pernah ditangkap oleh kepolisian. Namun penyidik tetap mengatakan tidak bisa. Saya bingung dan sempat beragumen.

Argumen penyidik menyatakan tetap tidak bisa, karena saat ini sedang fokus kepada 7 orang yang telah menjadi tersangka. dan mereka yang telah kembali dibebaskan mempunyai alibi bahwa mereka tidak ada di monas. Saya kembali mengatakan, "Pak itukan alibi mereka, bagaimana dengan saya sebagai korban. Saya saja belum melihat mereka, bahkan photonya tidak Bapak perlihatkan. Mungkin saja dari puluhan orang yang dilepaskan saya mengenali wajah mereka". Bapak Penyidik tersebut tetap tidak mau perlihatkan. Hal ini sungguh aneh.

1. Mengapa saya tidak bisa melihat photo-photonya mereka yang telah ditangkap dan dibebaskan.
2. Bukankah hak korban untuk melihat dan membantu kepolisian untuk menjaga keamanan?
3. Haruskah terdapat sebuah larangan bagi para korban kekerasan, untuk tidak melihat photo-photo yang pernah ditangkap oleh kepolisian.

Beberapa hal yang agak janggal lainnya adalah dibebaskannya pelaku yang telah diidentifikasi oleh korban, dimana saat pengidentifikasian dilakukan tanpa kaca gelap. Sehingga korban, teman saya wanita, harus bertatap muka dengan pelaku kekerasan yang dibatasi dengan kaca bening. Apakah Kepolisian tidak pernah memikirkan efek Psikologis dan traumatis para korban?mengapa begitu tidak ada empati kepada korban untuk tata cara pengidentifikasiannya.

Kemudian penanganan saat BAP korban yang mengalami trauma - wanita, tidaklah menunjukan sikap empati. Korban dilayani dengan kejantanan dan ketegasan polisi, yang saat itu membuat stress korban yang harus mengingat kembali kejadian kekerasan yang menimpanya. Sehingga korban meneteskan air mata, dalam keadaan tersebut pula penyidik tetap tidak memperlihatkan rasa empati atau pun rasa aman korban.

Inikah potret keprofesionalan Kepolisian kita ?

Nino - salah satu korban kekerasan atas nama agama.