Suara-suara yang Bertahan

Perjuangan antikekerasan - ahimsa - yang dihembuskan Mohandas Karamchand Gandhi mengambil bentuknya lagi awal Juni ini. Langit Jakarta memayungi ketika mimpi setiap anak bangsa akan dunia nirkekerasan dipasung lagi.

Semua media massa mewajahkan kekerasan yang dilakukan oleh sekelompok orang lewat suara, gambar, dan tulisan. Persis pada peringatah Hari Kelahiran Pancasila, sesama saudara sebangsa memulai perangnya.

Namun, di tengah hiruk-pikuk siapa tuding siapa, siapa membeking siapa, suara-suara korban makin sayup terdengar. Padahal, rintihan itu bisa jadi ekspresi paling jujur di tengah pipa besi, pentungan, dan tangan-tangan yang membekap mulut korban.

Masih diselubungi trauma Juni lalu, Nyoman Aisanya Wibuthi, salah seorang korban yang ikut berpartisipasi dalam Aliansi Kebangsaan untuk Kebebasan Beragama dan Berkeyakinan (AKKBB), memulai pengakuannya, Sabtu (14/6).

Perempuan yang akrab dipanggil Oming ini hadir bersama Nino Grasiano dan Bernardus Winarno yang juga menjadi korban dalam peristiwa di Monas. Ketiganya bergabung sebagai relawan National Integration Movement (NIM).

"Saya benar-benar merasaseperti terapi kejut ketika kepala bagian belakang saya dipukul,"ujar Oming yang sehari-hari bekerja di Jakarta. Dalam kondisi chaotic seperti itu, ujarnya, ia teringat bahwa dia perempuan. Dalam sebuah perang, tuturnya, ada sebuah kode etik bahwa perempuan dan anak kecil tidak boleh disakiti.

Lahir di keluarga Hindu, kata Oming, meyakinkannya bahwa perempuan adalah Ibu. Namun, bangsa ini sekali lagi telah menyesah seorang ibu dengan pipa besi dan kemarahan.

Bagi Oming, kekerasan yang terjadi di Monas bukan semata kekerasan fisik."Ada yang salah dengan masyarakat kita. Bagaimana bisa seseorang punya kebencian begitu besar terhadap yang lain?" tanyanya.

Kekerasan fisik kemudian menjadi sebuah senjata untuk mengobarkan kebencian, meniadakan yang lain, memastikan diri sebagai pemenang.

Padahal, Oming percaya, kekerasan 1 Juni menjadi bukti berapa kali bangsa ini sudah kalah karena lingkaran kekerasan.

Kedamaian.
"Semua wanita dan anak-anak dipukul. Sekujur tubuh saya luka. Sampai sekarang dada masih sakit kalau bernafas,"ujar Nino. Ingatannya masih segar tentang peristiwa yang membuatnya makin percaya gerakan antikekerasan harus terus digulirkan. Bagi Nino, apa yang terjadi 1 Juni lalu bukanlah isu penodaan agama. Dengan tegas, ia mengatakan, inilah kekerasan terhadap sesama anak bangsa.

Untuk meretasnya, tak ada cara lain selain berdialog? "Oh, tentu, Mengapa tidak?" tegas Nino. Gandhi dan gerakan ahimsa-nya yang menggerakkan seluruh India, kata Nino, mewujud lagi sekarang di Indonesia. Bukan dengan diam, namun dengan bersuara, dengan bertahan pada hal-hal yang kecil.

Pria yang sehari-hari bekerja di sebuah event organizer di Jakarta ini percaya, lingkaran kekerasan bisa dipatahkan lewat hal-hal kecil. Bersama NIM, ia menggiatakan "hal-hal kecil" itu, seperti menggelar pusat pemulihan stres keliling pascagempa.

Nino percaya semua orang bisa mencintai Indonesia dengan cara masing-masing. Bahkan , 1 Juni lalu, ia dan teman-teman seharusnya bernyanyi Damai Indonesia/ Bersatu Indonesia/yo yo yo Indonesia...

Lagu itu bahkan tak sempat digaungkan, keburu pipa besi menghantam mulut-mulut yang masih menyuarakan harapan. Nino tetap percaya cinta tidak diwujudkan lewat kekerasan. Siapa pun yang cinta negeri ini, walaupun hanya pada identitas-identitas suku, agam, ras, kelamin, dan golongan, tidak akan mencetak kekerasan pada kulit sesamanya. (A11)

Sumber KOMPAS Jateng-DIY, Selasa, 17 Juni 2008