Korban FPI Beri Testimoni

DENPASAR - Kecaman terhadap aksi Front Pembela Islam (FPI) saat peringatan kelahiran Pancasila di silang Monas Jakarta 1 Juni lalu kembali berlanjut. Kali ini para korban peristiwa itu langsung memberikan testimoni di depan masyarakat Bali.
Sumber Foto: Detik.com


Acara di Gedung Granada PWI Denpasar kemarin itu intinya membeber kesaksian korban atas aksi anarkis sekelompok orang yang menggunakan simbol agama tertentu untuk melakukan aksi kekerasan. Acara itu dihadiri para korban FPI, termasuk Anand Khrisna, Ketua Komisi II DPRD Bali Usdek Maharipa dan tokoh masyarakat. Menurut mereka, aksi yang dilakukan FPI tidak hanya menodai nilai Pancasila, tapi juga para faunding father, Presiden dan TNI yang susah payah menjaga negara ini tetap satu," ujar Nino Grassiano, salah satu korban dalam testimoni-nya kemarin.

Nino berpendapat, aksi yang dilakukan AKKBP adalah aksi damai. Sama sekali tidak membawa kepentingan kelompok tertentu, termasuk soal Ahmadiyah yang dituding kelompok FPI. Karena itu dia merasa heran, ketika tiba-tiba fakta yang terungkap ke media, justru masalah Ahmadiyah di perbesar.

Sesuai rencana, kata dia, aksi damai itu akan diawali apel yang diikuti kurang lebih 15 ribu massa. Ikut pula digelar pawai budaya dan menyanyikan lagu kebangsaan. Namun ketika baru seribu massa yang datang, tiba-tiba dari arah kejauhan, muncul FPI. Tanpa ampun, mereka mengobrak-abrik aksi damai AKKBP.

Tidak hanya laki-laki yang menjadi sasaran, tetapi juga lansia, perempuan dan anak-anak. "Saya sendiri mengalami luka di tangan dan kening," akunya. Namun bukan sakit fisik yang sebenarnya dia rasakan, melainkan sakit hati.

Sebagai Muslim, dirinya merasa diinjak-injak harga diri dan kehormatannya sebagai anak bangsa. Pengakuan serupa dilontarkan Wayan Sukmawati dan Ni Nyoman Asiana. Keduanya jauh-jauh datang dari Bali ke Jakarta hanya untuk memperingati hari lahir Pancasila. Kata keduanya, sudah waktunya bangsa Indonesia yang terpuruk kembali pada nilai Pancasila yang terlalu lama ditinggalkan karena nafsu dunia dan kekuasaan. Tetapi belum sempat perayaan itu dimulai, tiba-tiba muncul FPI mengobrak-abrik mereka.

Yang membuat saya tidak bisa berpikir, mereka tega menyiksa anak-anak dan perempuan. Buktinya adalah saya," sahut Sukmawati dan Asiana. Kesedihan serupa dilontarkan Bernadius Winarno. Menurut dia, insiden 1 Juni tidak hanya memalukan bangsa Indonesia, tetapi juga mengoyak arti Bhineka Tunggal Ika di mata dunia internasional. "Tolong diingat, Indonesia bukan milik satu agama. Indonesia adalah milik semua warga Indonesia yang cinta damai dan perdamaian," paparnya.

Sementara itu Koordinator NIM Pusat Maya Saphira Mochtar menilai bahwa beberapa hari pasca insiden Monas, media cenderung membalikkan fakta. Dari seputar aksi damai untuk memperingati hari lahirnya Pancasila ke isu agama. Menurut dia, itu adalah hal yang salah dan fatal. "Kami sama sekali tidak menyinggung agama dan kelompok tertentu. Murni kami hanya memperingati hari lahir Pancasila," paparnya.

Sesuai hasil konvensi Unesco beberapa waktu lalu di Bali, dia berharap agar media lebih berimbang dalam memuat pemberitaan. Mengedepankan The Power of Peace (kekuatan perdamaian) dan tidak memberitakan sesuatu yang berpotensi merusak persatuan dan kesatuan.(mus)

Sumber: http://www.blogger.com/post-create.g?blogID=689927903189434706